Filsafat Integrasi-Interkoneksi Amin Abdullah
Filsafat
ilmu adalah penyelidikan mendasar tentang hakikat ilmu dan sumsi-asumsi
dasarnya (ontologis), berbagai metode dan cara pengembangannya (epistemologis)
dan nilai atau landasan etika dalam ilmu (aksiologis). Karenanya, sebagai
refleksi filsafati, filsafat ilmu tidak pernah mengenal titik henti dalam
menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran, sekaligus sebagai pengontrol dan pengarah gerak laju
ilmu, bahkan perombak berbagai asumsi dasar bila memang diperlukan.
Di
era modern kontemporer saat ini, kian terasa adanya kekaburan batas-batas
antara (cabang) ilmu sehingga interdependensi dan interrelasi ilmu menjadi
terasa pula. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu “overview” untuk meletakkan
jaringan interaksi untuk saling menyapa menuju hakikat ilmu yang
integral dan integratif. Kehadiran etik dan moral semakin dirasakan,
tanggungkawab dan integritas ilmuwan kini semakin diuji[1]
Sebagai
kajian filsafat ilmu dalam pengembangan keilmuan Islam, pendekatan
integratif-interkonektif mulai menjadi wacana yang marak dibicarakan di
lingkungan UIN Sunan Kalijaga pada tahun
1997 (dulu bernama IAIN) dan mencapai tahap yang lebih substansial pada tahun
berikutnya. Abdullah (2006) mengusulkan bahwa pendirian UIN harus dilandasi
etika tauhidik, dengan beralih dari epistemologi “positivistik-sekularistik ke
teoantroposentrik-integralistik”. Sedang pengembangan akademiknya beralih dari
menggunakan pendekatan dikotomis-atomistik ke integratif-interkonektif”.
Pendekatan
integratif adalah terpadunya kebenaran wahyu (burhan ilahi) dalam bentuk
pembidangan matakuliah yang terkait dengan nash (hadlarah al-nash )
dengan bukti-bukti yang ditemukan dalam di alam semesta ini (burhan kauni)
dalam bentuk pembidangan matakuliah empiris-kemasyarakatan dan kealaman (hadlarah
al-‘ilm) , dan pembidangan matakuliah yang terkait dengan falsafah dan
etika (hadlarah al-falsafah). Struktur keilmuan integratif bukan berarti
antar berbagai ilmu mengalami peleburan, melainkan terpadunya karakter, corak,
dan hakikat antar ilmu tersebut dalam semua kesatuan dimensinya[2].
Adapun
pendekatan interkonektif adalah terkaitnya satu pengetahuan dengan pengetahuan
yang lain melalui satu hubungan yang saling menghargai dan mempertimbangkan.
Bidang ilmu yang berkarakteristik integratif sudah tentu memiliki interkoneksi
antarbagian keilmuannya. Sebaliknya, karena tidak semua ilmu dapat
diintegrasikan, maka paling tidak masing-masing ilmu memiliki kepekaan akan
perlunya interkoneksi untuk menutup kekurangan yang melekat pada dirinya
sendiri jika berdiri sendiri[3].
Dengan
mengambil inspirasinya dari karya-karya Abid al-Jabiry, Amin Abdullah
mencermati adanya pola dikotomis-atomistik dalam banguinan ilmu-ilmu agama yang
diajarkan di PTAIN. Pola ini bercirikan pemilahan secara dikotomis dan atomistik
terhadap ketiga nalar dalam keilmuan Islam sendiri, yaitu nalar bayani,
burhani dan irfani yang telah membawa kebuntuhan pada keilmuan Islam
sehingga tidak produktif bagi pemecahan persoalan keagamaan dan kemanusiaan
baik yang paralel maupun linear karena keterpisahan antara ketiganya atau dominasi oleh salah
satunya[4].
Sebagai
jalan keluar dari kebuntuan epistemologi keilmuan Islam tersebut, Abdullah (2006: 224), menawarkan pola
hubungan sirkuler dengan melakukan sinergi antara ketiganya. Harus disadari
bahwa setiap corak epistemologi memiliki keterbatasan, kekurangan dan
kelemahannya masing-masing jika dipaksakan harus menjawab permasalahan yang
luas dan kompleks. Oleh karena itu, kontribusinya tentu saja terbtas hanya pada
wilayah yang dapat dijangkaunya. Sedangkan pada wilayah yang lain, tentu saja
corak epistemologi lain yang tepat dapat mengambil peran, demikian seterusnya.
Juga, temuan dari corak epistemologi lain dapat menjadi masukan bagi suatu
corak tertentu, yang pada gilirannya corak epistemologi tersebut bersedia untuk
memperbaiki diri. Dengan demikian, pola hubungan sirkuler ini tidak mengenal
finalitas, eksklusivitas, dan hegemoni. Finalitas hanya akan mengantarkan suatu
keilmuan pada kebuntuan (Abdullah, 2006: 223-224)
Model
Pola Hubungan Sirkuler
Adapun
aplikasi pendekatan integratif-interkonektif pada ilmu ke-Islaman, wilayah
kajian keilmuan UIN Sunan Kalijaga mencakup seluruh bidang keilmuan yang
dikembangkan melalui konsep hadlarah
al-nash, hadlarah al-‘ilm, dan hadlarah al-falsafah. Wilayah keilmuan
tersebut tidak dikaji secara parsial melainkan dikaji secara
integratif-interkonektif atau saling berhubungan satu dengan yang lainnya[5].
Paradigma
integrasi-interkoneksi ilmu dimaksudkan untuk memahami dan membaca kehidupan manusia yang kompleks secara padu
dan holistik. Pembacaan holistik tersebut dirangkum dalam tiga level, yaitu hadlarah
al-nash, hadlarah al-‘ilm, dan hadlarah al-falsafah. Apa yang
diyakini (hadlarah al-nash) tidak seharusnya berbeda dengan apa yang
dianggap benar secara kognitif (hadlarah al-‘ilm), dan apa yang dianggap
benar secara kognitif, tidak seharusnya bertentangan dengan realitas nyata yang
dihadapi sehari-hari (hadlarah al-falsafah). Membaca ketiga ranah ini
secara padu dan saling terkait adalah hal yang signifikan[6].
Pengembangan
keilmuan di Perguruan Tinggi Agama (Islam) perlu mempertimbangkan etos dan
nafas reintegrasi ketiga epistemologi keilmuan yang ada tersebut. Hadlarah
al-nash (penyangga teks, bayani), hadlarah al-‘ilm (penyangga
budaya science rasional, burhani), dan hadlarah al-falsafah
(penyangga budaya etis-filosofis-emansipatoris, irfani) harus
menghindarkan diri dari sikap keangkuhan satu terhadap lainnya. Harus disadari
bahwa masing-masing tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dan terpisah
dari lainnya. Ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan science dan
teknologi (hadlarah al-‘ilm)
tidak akan memiliki karakter dan berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan
hidup jika tidak dipandu oleh hadlarah al-falsafah yang kokoh. Hadlarah
al-nash yang dikombinasi dengan hadlarah al-‘ilm tanpa diimbangi
dengan hadlarah al-falsafah yang kuat, terbukti telah melahirkan sikap
kekerasan radicalism-fundamentalism. Hadlarah al-falsafah akan terasa
kering tanpa siraman spiritualitas teks dari hadlarah al-nash, dan
menjadi terbelakang jika tidak diimbangi dengan hadlarah al-ilm
(Abdullah, 2006: 402-403). Demikian seterusnya.
Dengan
demikian, reintegrasi epistemologi keilmuan umum dan agama mengandung arti
perlunya dialog dan kerjasama antara disiplin umum dan agama yang lebih erat di
masa yang akan datang. Pendekatan interdisciplinary dikedepankan, diinterkoneksikan
dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu (sosial, humaniora, kealaman, dan
agama) perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dikembangkan terus menerus
tanpa henti (Abdullah, 2006: 399).
Tradisi
keilmuan yang dibangun di Perguruan Tinggi Agama (Islam), oleh karenanya, bukan
skema single entity, yang hanya terdapat satu hadlarah yang
berdiri sendiri tanpa didampingi hadlarah yang lain. Skema isolated
entities juga bukan skema ideal, sebab meskipun ketiga hadlarah ada,
akan tetapi ketiganya tidak ada persentuhan, komunikasi, dan dialog antara satu
dengan yang lainnya. Keberadaan ini menjadi sumber permasalahan dunia saat ini, mulai dari krisis
lingkungan hidup, krisis ekonomi, krisis moralitas, krisis religiositas dan
krisis multidimensional lain. Sekema tersebut menghasilkan lulusan yang yang
berwawasan sempit (Abdullah, 2006: 404).
Skema
yang ideal adalah interconected entities, yang dalam skema tersebut
tampak bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan
yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog,
bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu
lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing
berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dengan lainnya[7].
Visualisasi skema interconected entities tersebut sebagai berikut:
Skema
Interconnected Entities
Dengan
komunikasi dan kerjasama yang produktif dan tukar informasi, diharapkan
berbagai ilmu dapat memberikan kontribusinya
yang besar bagi penyelesaian masalah-masalah riil dalam kehidupan. Proses
interkoneksi dapat menjadi upaya akselerasi menuju integrasi demi menyongsong
peradaban Islam yang gemilang, sehingga kaum muslim tidak mengulang lagi pendekatan
dikotomis-atomistik untuk masa-masa mendatang.
Paradigma
interkoneksitas, secara aksiologis, hendak menawarkan pandangan dunia (world
view) manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu
membuka dialog dan kerjasama, dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan
berorientasi ke depan. Secara ontologis, hubungan antar berbagai disiplin
keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas
wilayah antara pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks (hadlarah
al-nash), dan budaya pendukung keilmuan faktuil-empiris baik yang
sosial-humaniora maupun eksakta (hadlarah al-‘ilm) serta budaya
pendukung keilmuan etis-filosofis (hadlarah al-falsafah) masih tetap
saja ada. Hanya saja, cara berfikir dan sikap ilmuwan yang membidangi ilmu-ilmu
tersebut yang perlu berubah (Abdullah, 2006).
[1] Koento Wibisono S. “ Ilmu Pengetahuan Sebuah sketsa Umum Mengenai
Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk memahami Filsafat Ilmu”
dalam Filsafat ilmu Sebagai dasar
pengembangan Ilmu Pengetahuan, Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat
UGM, Yogyakarta: Liberty: hlm 10
[2] Kerangka 26
[3] Kerangka 26
[5] Kerangkadasar, 19
[6] Kerangka dasar, H. 18
[7] Islamic studies405
Komentar
Posting Komentar