Interferensi dan Integrasi dalam Bahasa



     Kontak bahasa yang terjadi antara satu bangsa dan bangsa yang lain akan berpengaruh pada bahasa yang bersangkutan. Dalam berbahasa manusia tidak lepas dari pengaruh-pengaruh bahasa lain selain bahasa ibu. Sering kali sadar maupun tidak, manusia ketika melakukan interaksi sosial dengan manusia lainnya menggunakan bahasa campuran. Hal tersebut memicu munculnya unsur-unsur bahasa lain dalam penggunaan suatu bahasa tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Berhubungan dengan kesalahan penyimpangan kaidah berbahasa, di sana terdapat kajian tentang Interferensi dan Integrasi. Berikut adalah pemaparannya. 



A. Interferensi
    Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan system suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual.[1] Weinreich menganggap bahwa interferensi sebagai gejala penyimpangan dari norma-norma kebahasaan yang terjadi pada penggunaan bahasa seorang penutur sebagai akibat pengenalannya terhadap lebih dari satu bahasa, yakni akibat kontak bahasa. Istilah ini awalnya digunakan untuk merujuk pada penyimpangan dari norma penggunaan bahasa yang terjadi dalam ujaran bilingual sebagai efek dari keakraban mereka dengan bahasa lain.[2]
Dalam peristiwa interferensi digunakan unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Dan kemampuan penutur bilingual maupun penutur multilingual dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga terpengaruh bahasa lain merupakan penyebab terjadinya interferensi. Kemampuan setiap penutur terhadap bahasa yang pertama digunakan dengan bahasa kedua itu bervariasi. Ervin dan Osgood (1965:139) menyatakan bahwa penutur berkemampuan berbahasa sejajar jika penutur bilingual mempunyai kemampuan terhadap bahasa 1 dengan bahasa 2 sama baiknya, artinya penutur bilingual tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan, karena tindak laku kedua bahasa tersebut terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan penutur berkemampuan bahasa majemuk yaitu penutur yang kemampuan berbahasa 2 lebih rendah atau berbeda dengan kemampuan berbahasa 1, artinya penutur mempunyai kesulitan dalam menggunakan bahasa 2 karena dipengaruhi bahasa 1. Hartman dan Stork (1972:15) tidak menyebut interferensi sebagai „pengacauan“ atau „ kekacauan“, melainkan „kekeliruan“, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa kedua.[3]
Terkait hal ini yang banyak dibicarakan adalah interferensi seperti yang dikemukakan oleh Weinreich (1953) dalam bukunya Language in Contact.   Ia mengemukakan bahwa interferensi yang dimaksud adalah interferensi yang tampak dalam perubahan sistem suatu bahasa, baik mengenai sistem fonologi, morfologi maupun system lainnya.[4]
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Weinreich, Chaer dan Leonie Agustina membagi Interferensi menjadi beberapa jenis tingkatan[5], diantaranya yaitu:
1. Interferensi bunyi/Fonetik
Interferensi terjadi bila penutur itu mengidentifikasi fonem sistem bahasa pertama (bahasa sumber atau bahasa yang sangat kuat mempengaruhi seorang penutur) dan kemudian memakainya dalam sistem bahasa kedua (bahasa sasaran). Dalam mengucapkan kembali bunyi itu, dia menyesuaikan pengucapannya dengan aturan fonetik bahasa pertama. Penutur dari jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang homorgan di muka kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata:/mBandung/, /mBali/, /nDaging/, /nDepok/, /ngGombong/, /nyJambi/ dalam pengucapan kata-kata tersebut telah terjadi interferensi tata bunyi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia.
2. Interferensi Tatabahasa/Morfologi
Terjadi apabila seorang penutur mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama dan kemudian menggunakannya dalam bahasa kedua. Interferensi tata bentuk kata atau morfologi terjadi bila dalam pembentukan kata-kata bahasa pertama penutur menggunakan atau menyerap awalan atau akhiran bahasa kedua.
Misalnya awalan ke- dalam kata ketabrak, seharusnya tertabrak, kejebak seharusnya terjebak, kekecilan seharusnya terlalu kecil. Dalam bahasa Arab ada sufiks -wi dan -ni untuk membentuk adjektif seperti dalam kata-kata manusiawi, inderawi, dan gerejani. Tipe lain interferensi ini adalah interferensi struktur. Yaitu pemakaian struktur bahasa pertama dalam bahasa kedua. Misalnya kalimat dalam bahasa Inggris, I and my friend tell that story to my father sebagai hasil terjemahan dari saya dan teman saya menceritakan cerita itu kepada ayah saya. Dalam kalimat bahasa Inggris tersebut tampak penggunaan struktur bahasa dalam bahasa Indonesia. Padahal terjemahan yang baik tersebut sebenarnya adalah My friend and i tell that story to my father.
3. Interferensi Kosakata/Sintaksis
Interferensi ini terjadi karena pemindahan morfem atau kata bahasa pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua. Bisa juga terjadi perluasan pemakaian kata bahasa pertama, yakni memperluas makna kata yang sudah ada sehingga kata dasar tersebut memperoleh kata baru atau bahkan gabungan dari kedua kemungkinan di atas.
Interferensi kata dasar terjadi apabila misalnya seorang penutur bahasa Indonesia juga menguasai bahasa Inggris dengan baik, sehingga dalam percakapannya sering terselip kata-kata bahasa Inggris, sehingga sering terjebak dalam interferensi. Contohnya:
Planningku setelah lulus sarjana adalah melanjutkan sekolah ke luar negeri.
Mereka akan married bulan depan.
Dilihat dari segi “kemurnian bahasa”, interferensi pada tingkat apapun (fonologi, morfologi, dan sintaksis) merupakan penyakit, sebab merusak bahasa. Jadi, perlu dihindarkan.
Di dalam interferensi juga memiliki beberapa unsur sekurang- kurangnya ada tiga unsur penting yang mengambil peranan dalam terjadinya proses interferensi[6] yaitu:
1.      Bahasa sumber (source language) atau biasa dikenal dengan sebutan bahasa donor. Bahasa donor adalah bahasa yang dominan dalam suatu masyarakat bahasa sehingga unsur-unsur bahasa itu kerapkali dipinjam untuk kepentingan komunikasi antar warga masyarakat.
2.      Bahasa sasaran atau bahasa penyerap (recipient). Bahasa penyerap adalah bahasa yang menerima unsur- unsur asing itu dan kemudian menyelaraskan kaidah- kaidah pelafalan dan penulisannya ke dalam bahasa penerima tersebut.
3.      Unsur serapannya atau inportasi (importation). Hal yang dimaksud di sini adalah beralihnya unsur- unsur dari bahasa asing menjadi bahasa penerima.

    B. Integrasi[7]
Menurut Mackey ia menjelaskan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut.  Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan. Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu sampai menjadi berstatus integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada mulanya seorang penutur suatu bahasa menggunakan unsur bahasa lain itu dalam tuturannya sebagai unsur pinjaman karena terasa diperlukan, misalnya karena dalam B1-nya unsur tersebut belum ada padanannya (atau bisa juga telah ada tetapi dia tidak mengetahuinya). Kalau kemudian unsur asing yang digunakan juga oleh orang lain, maka jadilah unsur tersebut berstatus sebagai unsur yang sudah berintegrasi. Umpamanya, kata inggris research pada tahun 60-an sampai tahun 70-an digunakan sebagai unsur yang belum berintegrasi. Ucapan dan ejaannya masih menurut bahasa aslinya. Tetapi kemudian ucapan dan ejaannya mengalami penyesuaian, sehingga ditulis sebagai riset. Maka, sejak itu kata 'riset' tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman, melainkan sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia, atau kosakata bahasa Inggris yang telah berintegrasi ke dalam baasa Indonesia.
Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata, di dalam bahasa (Indonesia) pada awalnya tampak banyak dilakukan secara audial. Artinya, mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang  terdengar oleh telinga, itulah yang diujarkan, lalu dituliskan. Oleh karena itu, kosakata yang diterima secara audial seringkali menampakkan  ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosakata aslinya.
Pada tahap berikutnya, terutama setelah pemerintah mengeluarkan Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan penerimaan dan penyerapan kata asing dilakukan secara visual. Artinya, penyerapan itu dilakukan melalui bentuk tulisan dalam bahasa aslinya, lalu bentuk tulisan itu disesuaikan menurut aturan yang terdapat dalam kedua dokumen kebahasaan di atas. Umpamanya: System menjadi sistem (bukan sistim) Phonem menjadi fonem, Standard menjadi standar, Standardisation menjadi standardisasi, Hierarchy menjadi hierarki (bukanhirarki), Repertoire menjadi repertoir (bukan repertoar).
Penyerapan unsur asing dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia bukan hanya melalui penyerapan kata asing itu yang disertai dengan penyesuaian lafal dan ejaan, tetapi banyak pula dilakukan dengan cara : penerjemahan langsung, dan penerjemahan konsep. Penerjemahan langsung, artinya kosakata itu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya: Airport menjadi bandar udara, Paardekrachi menjadi tenaga kuda, Samen working menjadi kerja sama dan lain-lain.
Penerjemahan konsep artinya, kosakata asing itu diteliti baik-baik konsepnya dekat dengan kosakata asing tersebut. Misalnya: Network menjadi jaringan, Medication menjadi pengobatan. Kalau sebuah kata serapan sudah ada pada tingkat integrasi, maka artinya kata serapan itu sudah disetujui. karena itu, proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim juga disebut dengan konvergensi.


[1]Penutur bilingual yaitu penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian dan penutur multilingual yaitu penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. 
[2]Made Iwan Indrawan Jendra, Sociolinguistics The Study Of Socisties’ Languages (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 94.
[3]Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Hlm. 120-121.
[4]Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Hlm. 122.
[5]Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Hlm. 122-123.
[6]Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Hlm. 126.  
[7]Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Hlm. 128-130.

Komentar

Tulisan Lainnya

Sastra Arab Romantisme

Proses Penciptaan Manusia (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14)

Dua Sembilan

Puisi Untuk Mama, Wanita Hebatku

Sabtu Bersama Bapak