Husnu At-Ta'lil
Husnu
At-Ta’lil
Contoh
1
العظيمهذا لفقد الابكاء اليوم هذا المطر لايهطل
Artinya:
Bukanlah
hari ini hujan turun, melainkan langit telah menangis karena meratapi kematian
sang mulia.
Penjelasan:
Jika
diperhatikan contoh di atas, akan kita temukan penyair mengingkari terjadinya
sesuatu dengan sesuatu yang ain secara estetik, namun pada hakikatnya tidak ada
hubungan antara sebab akibat tersebut.
Pada
contoh (1), penyair mengaitkan turunnya hujan dengan kematian seseorang yang
sangat dihormati. Dalam puisinya penyair mengingkari sebab turunnya hujan yang
sebenarnya (seperti yang difahami ahli). Semua diingkari oleh penyair, ia lebih
senang mengatakan bahwa hujan turun di hari ini karena menangis dan meratapi
kematian seseorang yang terhormat.
Contoh
2
مااهتزت
الأغصان في الروض بفعل النسيم ولكنها رقصت غبطة بقدومكم
Artinya:
Bukanlah
dahan-dahan bergoyang itu karena dihembus angin pagi, melainkan ia menari
sebagai rasa suka cita atas kehadiranmu.
Penjelasan:
Pada
contoh (2), penyair juga mengingkari terjadinya peristiwa alam, yaitu
mengingkari sebab-sebab terjadinya dahan bergerak. Penyair lebih senang
mengatakan bahwa peristiwa bergeraknya dahan tersebut bukan karena hembusan
angin, melainkan sebenarnya ia sedang menari kegirangan menyambut kehadiran
seseorang yang dikaguminya.
Contoh
3
ما
زلزلت مصر من كيديرا دبها بها وإنما رقصت من عدله طربا
Artinya:
Mesir
tidak digoncang gempa lantaran suatu maker yang ditujukan kepadanya, melainkan
kota itu menari karena bersuka cita terhadap keadilannya(orang-orang terpuji).
Penjelasan:
Pada
contoh (3), penyair juga mengingkari terjadinya gempa yang terjadi di Mesir.
Penyair tidak suka melihat peristiwa gempa tersebut dengan sebab-sebab yang
sebenarnya, ia lebih senang mendatangkan alasan lain yang lebih mengena serta
estetik, yaitu dengan mengatakan bumi Mesir sedang menari sebagai rasa suka
cita terhadap keadilan yang dilakukan oleh seseorang yang dipuja.
Melalui
tiga contoh tersebut di atas, dapat diketahui adanya kemampuan penyair
memalingkan sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa yang sebenarnya, dengan
mendatangkan alasan lain yang bukan sebenarnya, namun bernilai sastra dan
sesuai dengan tujuan yang diinginkannya. Gaya bahasa yang demikian ini dalam
ilmu Badi’ dinamakan Husnut-ta’lil.[1]
Hifny Bik Nashif memberikan definisi
Husnut-Ta-lil dengan:
حسن
التعليل هو أن يدعى لوصف علة غير حقيقة فيها غرابه
Artinya:
Husnut-ta’lil
adalah mengemukakan alasan sebab terjadinya sesuatu yang tidak sebenarnya bagi
suatu keadaan, yang dalam alasan itu ada keanehan.[2]
Ali
Jarim mendefinisikan dengan:
ضالغر تناسب طريفة دبية أ بعلة ويأتى المعروفة الشئ علةوضمناأ صراحة الأديب ينكر أن
إليه بقصد الذى
Artinya:
Husnut-ta’lil
adalah seorang sastrawan mengingkari secara terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi terjadi suatu peristiwa yang dikenal oleh masyarakat umum,
sehubungan dengan itu, ia lebih senang mendatangkan alasan lain yang bernilai
sastra/estetik serta sesuai dengan tujuan yang dicapai.[3]
Dengan susunan redaksi yang sedikit
berbeda namun lebih lengkap, Al-Hasyimi mendefinisikan dengan:
حسن
التعليل هو أن ينكر الأديب صراحة أوضمنا علة الشئ المعروفة ويأتى بعلة ادبتة طريفة
لها اعتبار لطيف ومشتملة على دقة النظر بحيث تناسب الغرض الذى يرمى اليه
Artinya:
Husnut-ta’lil
adalah seorang sastrawan mengingkari sebab terjadi sesuatu peristiwa yang telah
dikenal masyarakat umum secara terang-terangan atau sembunyi kemudian
mendatangkan alasan lain yang lebih bernilai sastra dan lembut, mencakup
pengamatan yang dalam, serta sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.[4]
Daftar
Pustaka
Anonim.
Kaidah Tata Bahasa Arab Nahwu Shorof
Balaghoh Bayan-Ma’ani-Badi’. Jombang: Darul Ulum Press.
Idris, Mardjoko.
2007. Ilmu balaghoh antara Al-Bayan dan
al-Badi’. Yogyakarta: Teras.
Idris,
Mardjoko. 2014. Ilmu Badi’: Kajian Keindahan Bahasa. Yogyakarta: Karya Media.
Al-Tarim,
A & Amin, M. 2013. Terjemahan
Al-Balaghotul Waadihah. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
[1]
Mardjoko Idris, Ilmu Badi’: Kajian
Keindahan Bahasa, hal. 63-65
[2]
Anonim, Kaidah Tata Bahasa Arab Nahwu
Shorof Balaghoh Bayan-Ma’ani-Badi’,hal. 509
[3]
Mardjoko Idris, Ilmu balaghoh antara
Al-Bayan dan al-Badi’, hal. 85
[4]
Ali Al-Tarim dan Musthafa Amin, Terjemahan
Al-Balaghotul Waadihah, hal 416
Komentar
Posting Komentar