Teori Strukturalisme-Genetik
A.
Historisitas atau Latar Belakang Munculnya Teori Strukturalisme
Genetik
Strukturalisme
Genetik adalah cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni.
Penelitian struktural yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra.
Peletak dasar teori ini adalah Taine. Menurut Taine, karya sastra tidak sekedar
fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan suatu budaya,
wujud pemikiran tertentu pada saat karya dilahirkan.
Strukturalisme
genetik muncul sebagai reaksi atas “strukturalisme murni” yang kajiannya hanya
menitikberatkan pada unsur-unsur intrinsik
tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya
sastra dianggap lepas dari konteks . Pengabaian terhadap unsur kesejarahan teks
sastra sehingga menjadi teori yang ahistoris. Pemaknaan teks sastra yang
mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan berbahaya karena penafsiran
tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, dan juga
norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang dalam kultur sosial tertentu.
Strukturalisme
genetik ditemukan oleh Lucian Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog
Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukan dalam bukunya yang berjudul The
Hiden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies
of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kali pada tahun 1956. [1]
B.
Unsur-unsur Internal Teks Menurut Teori Strukturalisme Genetik
Adapun
unsur-unsur internal pembangun teks karya sastra menurut teori strukturalisme genetik
adalah seperti halnya unsur-unsur internal karya sastra yaitu meliputi:
1.
Tema
Tema dalam penulisan sebuah teks prosa merupakan pengejawantahan
dari ise yang ditemukan oleh pengarangnya. Secara teoritik pengertian tema
diformulasikan sebagai makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Makna pokok
yang menjadi dasar dari pengembangan makna-makna selanjutnya.[2]
2.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam cerita fiksi merujuk pada pertanyaan-pertanyaan seperti
“Siapa pelaku dalam cerkita fiksi itu?”, “Ada berapa tokoh dalam
ceritanya?”,”Siapakah pelaku antagonis dan protagonisnya?”. Dengan demikian
tokoh merujuk pada pelaku yang ada dalam cerita, sedangkan penokohan adalah
merujuk pada apa yang disebut dengan karakter atau perwatakan tokohnya.[3]
3.
Plot (alur cerita)
Alur secara umum dipahami sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa
yang terdapat dalam cerita. Laxemburg menyebutkan alur sebagai konstruksi yang
dibuat pembaca mengenai deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis
saling berkaitan diakibatkan dan dialami oleh para pelaku dalam cerita.[4]
4.
Setting (pelataran)
Setting merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diciptakan. Unsur latar
selanjutnya dapat dikategorikan menjadi, (a) setting tempat, (b) setting waktu,
(c) setting peristiwa.[5]
5.
Sudut Pandang
Sudut pandang adalah sebuah cara cerita dikisahkan, cara atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana menyajikan tokoh,
tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya
fiksi.
6.
Pesan (amanat)
Unsur terakhir dalam kajian struktural adalah pesan atau amanat
yang dapat digali dari sebuah cerita fiksi. Pesan ini dalam kajiannya dapat
berupa (a) pesan moral yang disampaikan, (b) pesan religiusitas, (c) nilai dan
kritik sosial, (d) nilai pesan lainya seperti nilai kekeluargaan, pendidikan,
adat, dan lain sebagainya.[6]
C.
Unsur-unsur Eksternal Teks Menurut Teori Strukturalisme Genetik
Adapun
unsur-unsur eksternal pembangun teks karya sastra menurut teori strukturalisme
genetik adalah meliputi: historis, sosial, ekonomi, politik, lingkungan,
pengarang, masyarakat, pendidikan, fenomena kemanusiaan dan unsur luar lainya
yang mempengaruhi lahirnya suatu karya sastra.
D.
Pendekatan Teori Strukturalisme Genetik
Pendekatan yang
dipilih oleh teori ini dalam mengkaji suatu karya sastra adalah pendekatan Objektif-Historis.
Pendekatan yang mengkombinasikan antara pendekatan objektif yang memusatkan
perhatian semata-mata pada unsur-unsur intrinsik (internal teks) dengan
pendekatan historis yang memusatkan perhatian kesejarahan karya sastra.
E.
Asumsi Teori Strukturalisme Genetik Terhadap Sebuah Karya Sastra
Asumsi-asumsi
teori Strukturalisme Genetik terhadap sebuah karya sastra adalah sebagai
berikut:
1.
Karya sastra merupakan produk sejarah yang terus berlangsung.
2.
Karya sastra merupakan proses strukturalisasi dan destrukturasi
yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.
3.
Karya sastra merupakan totalitas yang bermakna sebagaimana
masyarakatya.
4.
Individu sebagai sesuatu makhluk yang bukan bebas, melainkan
pendukung kelas-kelas sosial dalam masyarakatnya.
F.
Metode atau Prosedur Operasional
Teori Strukturalisme Genetik
Metode
operasinal teori Strukturalisme Genetik adalah sebagai berikut:
1.
Membangun teori strukturalisme Genetik sastra sesuai dengan genre
yang diteliti.
2.
Melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur
yang terkandung dalam bacaan karya sastra tersebut.
3.
Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan
koherensinya) sebagai data dasar. .
4.
Kemudian, langkah selanjutnya menghubungkan berbagai unsur
intrinsik dengan realitas masyarakatnya.
5.
Peristiwa-peristiwa penting dari zamanya dihubungkan langsung
dengan unsur-unsur intrinsik karya
sastra.
6.
Kelebihan Teori Strukturalisme Genetik
Kelebihan-kelebihan
yang dimiliki oleh teori Strukturalisme Genetik adalah:
1.
Penelitian dengan teori ini dipandang lebih obyektif.
2.
Teori Strukturalisme Genetik memiliki implikasi yang lebih luas
dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaanya pada umumnya.[7]
3.
Teori ini sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis
Intrinstik dan ekstrinsik.[8]
4.
Pemahaman terhadap karya sastra
teori ini tidak hanya berhenti pada perolehan pengetahuan mengenai
strukturnya saja melainkan dilanjutkan hingga mencapai pengetahuan mengenai
artinya.[9]
5.
Teori Strukturalisme Genetik mencakup segala bidang yang mencakup
fenomena sosial kemanusiaan.
7.
Kekurangan Teori Strukturalisme Genetik
Di samping
kelebihan bukan berarti tidak adanya kekurangan, seperti halnya teori
sebelumnya teori ini juga memiliki kelebihan-kelebihan, di antaranya adalah:
1.
Memerlukan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kepekaan dalam
menganalisis unsur ekstrinsik karya sastra.
2.
Teori strukturalisme Genetik masih ditompang oleh beberapa konsep
canggih yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, seperti: simetri atau
homologi, kelas-kelas sosial, dan pandangan dunia.[10]
3.
Melalui bantuan beberapa konsep canggih tersebut dalam proses
penelitian identifikasi terhadapnya memerlukan penelitian yang seksama.
8.
Teori Strukturalisme Genetik Lucian Goldmann
Strukturalisme
Genetik Lucian Goldman memandang karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan
tetapi struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk
dari proses sejarah yang terus berlangsung dan dihayati oleh masyarakat asal
karya sastra yang bersangkutan.[11]
Goldman mengukuhkan adanya hubungan antara struktur sastra dan struktur
masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh
karena itu karya sastra tidak dapat dipahami secara utuh jika totalitas
kehidupan masyarakat yang telah melahirkan karya tersebut diabaikan begitu
saja.[12]
Untuk menompang
teorinya tersebut Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian
satu sama lain. Kategori tersebut (Faruk, 12) adalah fakta kemanusiaan, subjek
kolektif, pandangan dunia, strukturasi, pemahaman dan penjelasan.
A.
Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas manusia baik verbal
maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh pengetahuaan. Fakta dapat berwujud
aktivitas sosial, aktivitas politik, kreasi kultural. Meskipun memiliki wujud
yang bermacam-macam pada hakikatnya fakta kemanusiaan dibedakan menjadi dua
yaitu, fakta individual(hasil dari perilaku libidinal) dan fakta sosial(perana
dalam sejarah).
Goldmann menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu
struktur yang berarti yaitu memiliki struktur tertentu dan arti tertentu. Oleh
karena itu pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan
struktur-struktur dan arti. Fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia yang
baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya (Goldmann 1981:40).[13]
Dari hubungan tersebut terjadi proses strukturasi dan akomodasi yang
terus-menerus, itulah suatu karya sastra sebagai fakta kemanusiaan berasal dari
aktivitas kultural manusia.
B. Subjek Kolektif
Fakta kemanusiaan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja tanpa
ada yang mengusungnya. Fakta kemanusiaan merupakan hasil aktivitas manusia
sebagai subjeknya. Dalam hal ini subjek fakta kemanusiaan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu, subjek individual dan subjek kolektif. Subjek individual
merupakan subjek fakta individual (libidinal), sedangkan subjek kolektif
merupakan subjek fakta sosial (historis).
Karya-karya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis).
Individu dengan dorongan libidonya tidak akan ammpu menciptakannya, yang dapat
menciptakan adalah subjek trans-individual. Subjek trans-individual adalah
subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanyalah merupakan
bagian, bukan berarti berdiri sendiri-sendiri melainkan satu kolektivitas (satu
kesatuan).
C. Pandangan Dunia
Menurut Goldmann, pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi
kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan
perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama dengan
kelompok-kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkan kelompok-kelompok
sosial lainnya. Pandangan dunia merupakan suatu bentuk kesadaran kolektif yang
mewakili identitas kolektifnya, maka dia merupakan wakil dari kelas sosialnya.
Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia ini berkembang
sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh
subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann 1982:112). Karena merupakan produk
interaksi antara subjek kolektif dengan lingkungan sekitarnya, pandangan dunia
tidak lahir tiba-tiba. Transformasi mentalistas yang lama secara perlahan-lahan
dan bertahap. Pandangan dunia inilah yang menentukan struktur suatu karya
sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya
(unsur genetiknya) dari latar belakang sosialnya.[14]
D. Strukturasi
(struktur karya sastra)
Karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek
kolektif. Oleh karena itu, karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan
terpadu. Goldmann mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya.
Pertama, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner.
Kedua, dalam usahanya mengekspresi pandangan dunia itu pengarang menciptakan
semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner.
Dari kedua pendapatnya itu jelas bahwa Goldmann mempunyai konsep
struktur yang bersifat tematik. Pusat perhatiaanya terhadap karya sastra adalah
relasi antar tokoh dengan tokoh lainya dan relasi tokoh dengan objek yang ada
disekitarnya. Sifat dari konsep struktur Goldmann terlihat pada konsepnya
mengenai novel. Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian
yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi
pula.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann membagi novel menjadi tiga
jenis, yaitu novel “idealisme abstrak”, Romantisme keputusasaan”, dan
pendidikan.
E. Dialektika
Pemahaman dan penjelasan
Goldmann dalam memperoleh pengetahuan mengenai karya sastra yang
mempunyai struktur dan arti, ia
mengembangkan sebuah metode yang disebut dengan metode Dialektik. Menurutnya metode
tersebut merupakan metode yang khas, berbeda dengan metode positivis, intuitif,
dan metode biografis yang psikologis.
Prinsip dasar dari metode dialektik adalah pengetahuannya mengenai
fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret
dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Metode ini mengembangkan dua
pasangan konsep, yaitu “Keseluruan-Bagian” dan “Penjelasan-Pemahaman”.
Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti apabila
ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami
dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta yang tidak menyeluruh.
Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan begitu pula
sebaliknya. Teks sastra sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih
besar, yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Pemahaman adalah usaha
untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk
mengerti makna bagian tersebut dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang
lebih besar.[15]
[1]
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012) hal. 121-122.
[2] Lihat
Aminudin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru. 1987),
hal. 6.
[7]
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012) hal. 122
[8] Ibid……
hal. 123
[9] Faruk,
Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. ((Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2012) hal. 159
[10]
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra……hal. 123
[11]
Faruk HT, Pengantar Sosiologi Sastra…… hal. 12
[12]
Kasnadi dan Sutejo, Kajian Prosa Kiat Menyisir Dunia Prosa. (Yogyakarta:
Pustaka Felicha, 2010) hal. 30.
[14] Kasnadi dan Sutejo, Kajian Prosa Kiat Menyisir Dunia Prosa.
(Yogyakarta: Pustaka Felicha, 2010) hal.
30.
Komentar
Posting Komentar