Kunci Hidup Bahagia

 

 Foto by My Best Friend: Hativa Sari

Pandemi sudah hampir satu tahun, masih dengan ketidakpastian kapan akan berakhir. Sedangkan kehidupan terus berjalan. Begitupun rutinitas tetap harus dijalankan. Segala percobaan dilakukan, demi menuai keberhasilan. Seenggaknya, bisa untuk diterapkan. Meski tidak selamanya mudah. Hal ini barangkali juga dilakukan oleh orang lain di luar sana atau bahkan hampir semua orang mengalaminya, sebab pandemi tidak mengenal kasta, tahta apalagi rakyat jelata. Semuanya terkena dampak dari pandemi. 

Maret, 2020.

Pandemi menggegerkan masyarakat Indonsia, tidak terkecuali kami-ribuan para santri. Semua santri dipulangkan ke rumah, pesantren dikosongkan. Suatu hal yang tidak pernah terlintas dalam benak sama sekali. Pesantren suwung.

Kegiatan mengaji, belajar, mengajar dilakukan dengan cara yang tidak seperti biasanya, semuanya dilakukan dengan tehnologi. Gawai dan internet merajai hari ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, salah satu kunci untuk tetap bisa bertahan di kondisi saat ini adalah terus belajar dan berkreasi. Salah satunya yaitu bagaimana merubah mainset dan mengalihfungsikan gawai dan internet, yang semula adalah sarana hiburan menjadi sarana belajar dan mengedukasi.

Memang bukan perkara mudah, tetapi semua bisa di atasi dengan adanya kemauan, kolaborasi dan aksi.

Tiga bulan terlampaui dengan ketidakpastian sebab pandemi, namun syukur alhamdulillah Allah senantiasa menguatkan dan memberkati. 

Juni, 2020.

Gelombang kedatangan santri telah dibuka. Satu per satu santri putra dan putri kembali ke pesantren, namun dengan gaya hidup baru, sistem baru, berbeda dari biasanya. Protokol kesehatan diatur ketat: wajib memakai masker dan faceshild, mencuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan dengan sabun pada air mengalir, menjaga jarak, dan semua peralatan, pakaian milik pribadi  tidak diperkenakan untuk pinjam-meminjam.

Tidak ada lagi jabat tangan, yang ada hanya lambaian. Tidak ada lagi makan bersama dalam satu nampan, yang ada makan sepiring satu orang. Tidak ada lagi tidur berdesak-desakkan, yang ada tidur satu ranjang hanya untuk satu orang. Semua ini adalah kebiasaan baru.

Semua itu aku masih bisa melaluinya, meski kebosanan tak jarang melanda. Berkat rahmat Allah, aku masih bisa bertahan pada kondisi ini.

November, 2020

Kabar mendung datang dari rumah melalui handphone seluler, Mama sakit. Hatiku gusar, kecemasan, ketakutan campur aduk menjadi satu. Satu hal yang kuinginkan saat itu adalah pulang. 

Tidak pikir panjang, aku langsung meminta izin kepada Bapak Ibu pengasuh untuk pulang.

November-Desember, 2020

Mama jatuh sakit. Berhari-hari hanya derita dan derai air mata yang ada. Amat sangat kasihan kondisi Mama. Kesana-kemari aku dan keluarga bertanya dan mencari bantuan untuk kesembuhan Mama. Pengobatan demi pengobatan kami tempuh, dari medis hingga nonmedis. Sampai pada pengobatan oleh dokter spesialis penyakit dalam, Mama dinyatakan menderita sakit infeksi ginjal. Tubuhku lemas, hatiku sakit, tetapi aku menolak untuk rapuh. Demi Mama, aku akan merawatnya.

Januari, 2020

Alhamdulillah berkat kasih sayang dan pertolongan Allah, berangsur-angsur kondisi Mama semakin membaik. Meskipun masih harus mengkonsumsi obat-obatan dan herbal. Obat-obatan kami tebus dari apotek di mana dokter tersebut melakukan praktek. Sekali tebus obat menghabiskan biaya 700 ribu, sebuah nominal yang tidak sedikit. Namun, demi kesembuhan Mama, uang masih bisa dicari kapan saja. 

Setiap pagi menjelang siang, Mama, aku buatkan minuman herbal dari kunyit, jeruk nipis, dan madu yang dimasak kemudian diambil sarinya dan diminum setiap hari.

Februari, 2020

Mama sudah beraktivitas seperti semula. Alhamdulillah. Mulai saat itu, aku putuskan untuk membantu Mama sebisa dan semampuku. Mengambilalih pekerjaan rumah, membantu menata sayur-mayur, dan menemani berjualan di pasar mulai pukul 02.30 pagi hingga pukul 07.00.

Waktu selebihnya adalah untuk mengurus rumah dan membantu Bapak di sawah. 

Waktu istirahat yang sedikit, terbangun lebih cepat, kegiatan yang monoton, pekerjaan yang tidak habis-habis, sangat menguras tenaga dan fikiran tidak jarang mengundang kelelahan, ketidakterimaan, sebal, dan mengeluh sebab ilmu yang masih sedikit serta hati yang masih rapuh.

Dalam sendiri termangu sepi, aku bergumam," Mengapa nasibku sedemikian pelik? Mengapa harus aku yang hidup seperti ini? Mengapa aku tak seberuntung dia? Mengapa berat sekali hidupku. Aku capek, Ya Allah..."

Tiba pada suatu ketika, saat aku menyapu lantai di rumah bagian depan sembari memutar youtube di handhone, aku mendegarkan ceramah Gus Baha di sebuah chanel youtube saat memperingati wafatnya K.H. Atabik Ali Krapyak. Kurang lebih beliau berkata bahwa, "Semua adalah takdir dari Allah, kita harus menerima qada dan qadar yang Allah telah tetapkan, sebab pada habikatnya semua adalah milik Allah dan kembali kepada Allah. Hadirkan penerimaan-penerimaan yang baik, ikhlas, ridho, rela dengan qada -qadarnya Allah."

Seketika aku termangu, menitikkan air mata, ada kelegaan di hati. Aku menemukan kuncinya. Aku menemukan jawaban dari semua keraguan dan pertanyaan yang ada pada diriku. Terimakasih Allah.  Ilmu, obat, pemahaman, doa, hadiah, dariMu datang melalui arah yang tidak disangka-sangka.

Benar saja, hanya dengan menerima qada-qadarnya Allah-lah, hati kita bahagia. Hidup kita bahagia. Berikan penerimaan yang baik atas semua itu. Sungguh Allah Maha Tahu dari siapapun. 

Memang tidak mudah untuk bisa ikhlas, lapang dada, rela atas semua yang menimpa diri kita, namun bukan berarti tidak bisa. Mari bersama-sama terus berusaha dan belajar. Semoga Allah memberikan kebaikan-kebaikan pada diri kita semua. Amiin


Komentar

Tulisan Lainnya

Proses Penciptaan Manusia (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14)

Manfaat belajar filsafat

إلى حبّ المحبوب

Untukmu Penggenap Ganjilku

Belajar Nahwu Efektif dan Efisien dengan Talfiful Akwan