Begini Ceritanya

 Selamat menunaikan ibadah sabtu malam kawan semuanya.

---

Tulisan pertama di bulan Mei yang nyaris habis. Banyak ide tercatat juga terselip niat, namun sayang action hanya wacana belaka. Sedih sih, iya, tapi mau digimana, suka nulisnya masih mood- mood an. Ngapunten Gusti.

---

Sekelumit kisah dari aku pejuang munaqosyah. Mahasiswa penyandang gelar 'mahasiswa limitid edition' yang tidak pernah mengakuinya. Drama tugas akhir yang ada-ada saja. 

(Tidak lekas menulis tugas akhir malah ngetik curhatan di blog. Itu Aku. Hmmm...)

Semua bermula dari ucapan Orang Tua:

"Karepmu piye, Nduk? Lulus kuliah tekan sak iki wes setengah tahun, tapi ra jelas jeluntrungane. Kerja yo ra kerjo, nikah yo rung ono calonne, hare meh S2 tapi ra ndang. Hmmm..." 

Panik gak? panik gak?, panik lah, masa enggak!

Bagaimanapun Orang Tua punya hak atas itu semua, sebab beliau sudah bersusah payah, banting tulang untuk membiayai kuliah anaknya. Aku sadar akan itu, tapi sebenarnya aku juga tengah berjuang. Lebih tepatnya menyelesaikan ngaji sembari mempersiapkan berkas-berkas untuk mengajukan beasiswa LPDP untuk kuliah S2. 

Dari awal kuliah S1, aku sudah bertekad dan berjanji pada diriku sendiri bahwa jika ingin lanjut studi S2 maka harus beasiswa atau biaya sendiri tidak mau merepotkan orang tua lagi. Namun Tuhan punya kehendak lain.

Setelah setengah tahun dari kelulusan strata satu aku mempersiapkan berkas, syarat-syarat beasiswa dan apply beasiswa, namun tidak ada satupun yang keterima. Sehingga sempat terkikis niatan untuk lanjut studi.

Sampai pada pertanyaan orang tua, yang tadi aku sebutkan di paragraf sebelumnya dan menuai tawaran:

"Yowes nek ngono. Lanjuto S2 go beasiswa wong tuo. Mbi mlaku, golek-golek o beasiswa."

Budalll... tapi dengan rasa separo gengsi. "Aku melanggar janji yang kubuat sendiri. Menyedihkan!."

Terus kemudian aku susul dengan rasa syukur, "Alhamdulillah, orang tuaku masih mampu membiayai ngaji dan kuliahku." 

Tahun pertama menyandang gelar 'mahasiswa pascasarjana' terlampaui dengan aman, sekalipun tidak jarang mengeluh sebab tugas yang berjibun dan effort yang sangat, ditambah sudah merasakan candu membolos kelas. Maklum sudah pernah jadi mahasiswa rajin semasa S1 nya, tidak pernah sama sekali membolos. Asli. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada teman-temanku, kalau kalian tahu. wkwkwk

Seperti kata pepatah, "Semakin tinggi pohon, semakin besar pula angin yang menerpanya.". Studi S2 ku tidak semulus masa S1, meskipun di tugas akhir skripsi ada juga dramanya tapi masih terbilang aman lah dibandingkan masa kini. 

Memasuki semester 3 masa studi S2, kegiatan dan jadwalku di pesantren mulai padat bersamaan dengan mata kuliah yang bebannya berat, proposal penelitian dengan dua dosen di satu mata kuliah. Sudah jelas revisi tidak dapat dihindari. Benar saja revisi berulang kali. Hingga nyaris putus asa. 

Memasuki semester 4 yang tinggal menyusun tugas akhir, aku tergiur dengan cuti. Bukan tanpa alasan. Aku mengambil cuti berdasarkan pemikiran logis. 

"Tugas akhir dikerjakan dalam kurun waktu 2-3 bulan? Edan. Kalau jelas bisa ngerjainnya itu keren. Tapi kalau sudah jelas tidak mampu merampungkan dalam waktu sesingkat tersebut, itu namanya buang-buang biaya. Mending uangnya disimpan buat bayar semester berikutnya yang masa studinya lebih lama. Kan lagi pula, masa cuti tidak mengurangi masa studi.", pikirku saat itu.

Ternyata dugaanku, inisiatifku salah.

Di semester 3 aku masih memiliki PR revisi proposal yang belum ACC di salah satu dosen, yang itu berarti proposal tugas akhirku belum deal. Kemudian semester 4 aku mengambil cuti dan asyik pada urusan lain (ngaji dan ngabdi di pesantren) yang berakibat pada 'los dol' perihal kuliah. Baru ketika terhitung masuk semester 5 menurut kalender akademik (sebenarnya masih semester 4 kan mengganti semester yang cuti), aku menyentuh naskah proposal dan menggarap revisiannya untuk diajukan sebagai proposal penelitian tugas akhir yang deal. Sekali, dua kali hingga tiga kali menghadap dosen memberikan draf revisi-an, baru akhirnya ACC.

Langkah selanjutnya menghadap ke ketua jurusan untuk mengajukan dosen pembimbing tugas akhir. Ternyata tidak semulus jalan tol, gaes prosesnya. Ada seninya tersendiri. 

Proposal yang telah di ACC oleh dua dosen mata kuliah proposal kuserahkan kepada ketua jurusan untuk bahan pertimbangan dalam memilih dosen pembimbing. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu tidak kunjung ada kabar, tenyata proposalku belum diproses. Usut demi usut ternyata Kajur mengira aku masih cuti, sehingga belum diproses. Padahal aku tercatat sebagai mahasiswa aktif di semester tersebut. Bagaimana perasaan, anda?

Lalu, ketika proposalku sudah mendapat ACC ketua jurusan dan mendapatkan pembimbing, masa studi semester 5 telah habis. Membayarlah SPP untuk semester 6. 

Bimbingan pertama semangat 45, dua bab kuserahkan. Satu minggu tidak ada kabar. Minggu berikutnya, kutanyakan kembali ternyata dosen pembimbing (dosbing) belum sempat membacanya. Minggu ketika, Corona datang. Asli tambah drama. Aku menanyakan kembali perihal dua bab naskah tugas akhirku apakah ada revisi, atau boleh lanjut.  Tidak lupa kutanyakan tentang sistem bimbingan kala pandemi.

Lagi-lagi jawaban beliau membuat, hatiku patah sepatah patahnya. Asli ini adalah patah hati yang lebih menyakitkan dari pada ditinggal kekasih RABI. 

"Maaf mbak, draf tesisnya masih di kantor dan saya belum sempat membacanya. Dan untuk bimbingan online saya merasa keberatan. Bagaimana kalau bimbingan dilanjutkan usai pandemi?"

Asli semangatku langsung down. "KAPAN PANDEMI BERAKHIR WOYYY.", teriakku dalam batin.

Sebulan dua bulan off. Mutung.

Akhir nya sadar tertampar oleh pertanyaan, "KAPAN LULUS?"

Aku mulai mencari inisiatif dan sharing pada teman-temanku. Menuai solusi. Ganti pembimbing, solusinya. Lagi-lagi aku harus menghadap Kajur menyampaikan perihal itu. Butuh beberapa kali merayu dan meyakinkan beliau untuk meng-ACC pintaku.

Semua jurus kukerahkan, dari jampi-jampi alfatikhah yang tidak pernah absen usai sholat lima waktu, minta doa restu orang tua, jalur dosen, tirakat sak isoku. Semua kulakukan.

Alhamdulillah, boleh ganti dan mendapat dosbing pengganti, sekalipun atas pilihanku bukan dari jurusan yang memilihkan. Aku mendapatkan dosbing tesis yang sama dengan dulu membimbing aku ketika skripsi. Takdir Tuhan pancen paling top.

Bimbingan pertama sudah pasti ramah tamah dan curhat. Karena Beliau sedikit banyak sudah tahu dan paham bagaimana karakterku. Sama seperti bimbingan pada mulanya, dua bab yang sudah jadi sejak lama aku serahkan kepada dosbing baruku. Tiga hari kemudian, aku mengirim pesan menanyakan perihal draf naskah tesis tersebut. Ternyata beliau belum ada cukup waktu untuk membaca lengkap draf naskah tesisku. Akhirnya satu minggu kemudian, aku tanyakan kembali. Alhamdulillah sudah sempurna terbaca, draf dikembalikan dengan banyak sekali catatan. "Semangat revisi!", ujarku pada diriku sendiri.

Catatan demi cacatan aku baca di setiap halamannya, asli banyak banget. hahaha

Tenyata membutuhkan referensi lebih, dan tidak sedikit yang rombak. Semangat!!!

Ketika mood boster, Allah menghadirkan hadiah. Mama sakit. Sehingga fokusku terbagi. Aku harus pulang dan merawat Mama. Tubuhku dan pikiranku sudah tercurah sepenuhnya untuk merawat Mama. Tesis menjadi prioritas kesekian. 

Sebulan, dua bulan, kulalui tanpa ada bimbingan ke dosbing.  Semester 7 pun merekah, mau tidak mau harus membayar SPP kembali. Alhamdulillah Mama sudah sembuh, sehat seperti sedia kala. Aku bisa kembali fokus mengerjakan tesis. Tiba-tiba ada informasi dari fakultas, akan mengadakan zoom meeting dengan mahasiswa angkatan 17.  Ada hal penting untuk disampaikan. 

Hal penting tersebut adalah:

"Bahwasanya disampaikan kepada semua mahasiswa angatan 17 apabila ingin mendapatkan ijazah dengan nomor dinas bla bla bla maka harus lulus di semester ini. Sehingga bagi yang pernah cuti, maka tidak ada penambahan masa studi."

Allah ... 

"Bisa tidak bisa, aku harus bisa lulus semester ini." 

Jika akhirnya bakal seperti ini, aku tidak akan pernah mengambil cuti, Tuhan. 

Sungguh tidak pernah menyangka akan berada diposisi seperti ini. Mahasiswa legend, dioyak-oyak dosen, tertinggal dari kawanan, berjuang sendirian. :(

 Tuhan tolonglah hambamu ini. Hadirkan keajaiban-keajaiban ya Allah. Please, Lur pray for me. Support me. 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proses Penciptaan Manusia (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14)

Manfaat belajar filsafat

Sturkturalisme Robert Stanton