Teori Strukturalisme-Semiotik



A.    Historisitas Munculnya Teori Strukturalisme-Semiotik
Kelahiran kembali strukturalisme awal abad ke-20, yang kemudian disusul oleh semiotika, khususnya sebagai akibat stagnasi strukturalisme. Sebagian literature sastra, termasuk Handbook of Semoitics (Noth, 1999:307, 346), menyebutkan bahwa semiotika merupakan akibat langsung formalisme dan strukturalisme. Menurut Noth, ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantic, logika, retorika, dan hermeneutika. Karena rasa ketidakpuasaan terhadap teori strukturalisme, teori ini muncul bahwa karya sastra tidak cukup dipahami dengan strukturnya saja melainkan melalui tanda dan petanda, karena karya sastra tidak lepas dari persoalan-persoalan pembaca, ekspresi dan penciptaannya.[1]
Secara definitive, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002:4), semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata seme berarti penafsir tanda. Literature lain, mengatakan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Kehidupan manusia dipenuhi dengan tanda, dengan perantara tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien dan manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia .
Meskipun pengkajian mengenai tanda dilakukan sepanjang abad, namun pengkajian secara benar-benar ilmiah baru dilakukan pada awal abad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada masa yang sama, dengan konsep dan paradigm yang hamper sama, tetapi sama sekali tidak saling mengenal. Kedua orang tersebut adalah Ferdinand de Saussure(1857-1913)  ahli bahasa dan Charles Sanders Pierce (1839-1914) ahli filsafat dan logika.[2]

B.     Unsur-unsur Internal Teks Menurut Teori Strukturalisme-Semiotik
Adapun unsur-unsur internal pembangun teks karya sastra menurut teori Strukturalsime-Semiotik adalah: sistem tanda-tanda dan simbol-simbol yang ada pada teks karya sastra.
C.    Unsur-unsur Eksternal Teks Menurut Teori Strukturalisme-Semiotik
Adapun unsur-unsur eksternal pembangun teks karya sastra menurut teori Strukturalsime-Semiotik adalah: unsur diluar tanda yang berkaitan dan memiliki relasi terhadap system tanda yang ada pada teks karya sastra, seperti: lingkungan, pendidikan, sosial, ekonomi, pengarang, agama dan lainnya.

D.    Pendekatan Teori Strukturalisme-Semiotik
Pendekatan yang dipilih oleh teori ini untuk mengkaji suatu karya sastra adalah dengan pendekatan objektif-semiotik/simbolis. Pendekatan yang mengkombinasikan antara pendekatan objektif yang memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur intrinsik (internal teks) dengan pendekatan semiotik/simbolis  yang memusatkan perhatiannya pada sistem tanda yang ada dalam suatu karya sastra.

E.     Asumsi Teori Strukturalisme-Semiotik Terhadap Sebuah Karya Sastra
Asumsi-asumsi  yang dimilki teori Strukturalisme-Semiotik terhadap sebuah karya sastra adalah sebagai berikut:
1.      Karya sastra sebagai cetusan ide penuh simbol.
2.      Karya sastra sebagai ekspresi bahasa yang kaya makna.
3.      Karya sastra sekalipun merupakan lambang-lambang kebahasaan memiliki makna dramatis.
4.      Tanda-tanda hendaknya dihubungkan dengan sistem tanda yang berada diluar tanda supaya ditemukan suatu makna baru.
5.      Terdapat kepentingan antara pembaca dan penulis karya sastra.
6.      Karya sastra dibangun atas kemolekan tanda yang penuh makna.



F.     Metode atau Prosedur Operasional Teori Strukturalisme-Semiotik
Metode-metode operasional yang ditempuh oleh teori Strukturalisme-Semiotik dalam menganalisis suatu karya sastra adalah sebagai berikut:
1.      Membangun teori strukturalisme-Semiotik sastra sesuai dengan genre yang diteliti.
2.      Melakukan pembacaan secara cermat, mencatat sistem tanda, symbol-simol dalam bacaan karya sastra tersebut.
3.      Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasar yaitu tanda.
4.      Kemudian, langkah selanjutnya menghubungkan tanda-tanda dengan realitas masyarakatnya.





[1] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hal. 97.
[2]  Ibid….hal. 98.

Komentar

Tulisan Lainnya

Proses Penciptaan Manusia (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14)

إلى حبّ المحبوب

Untukmu Penggenap Ganjilku

Belajar Nahwu Efektif dan Efisien dengan Talfiful Akwan

Manfaat belajar filsafat